BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 02 November 2009

PERILAKU KEKERASAN

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993). Berdasarkan defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al, 1995). Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Berkowitz, 1993)
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996)
Ekspresi marah yang segera karena sesuatu penyebab adalah wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi marah tidak diperbolehkan. Oleh karena itu marah sering diekspresikan secara tidak langsung.
Sedangkan menurut Depkes RI, Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan penyakit jiwa, Jilid III Edisi I, hlm 52 tahun 1996 : “Marah adalah pengalaman emosi yang kuat dari individu dimana hasil/tujuan yang harus dicapai terhambat”.
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Untuk itu perawat harus pula mengetahui tentang respons kemarahan sesorang dan fungsi positif marah.
2.Penyebab
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
2.1. Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
2.2Hilangnya harga diri ; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
3.3Kebutuhan akan status dan prestise ; Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
3.Rentang respons marah
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif. Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997, hal 6).
3.1.Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
3.2.Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3.3.Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami.
3.4.Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain.
3.5.Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
4.Proses Marah
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.
Berikut ini digambarkan proses kemarahan :
(Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996, hal
Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.
5.Gejala marah
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa.
Gejala-gejala atau perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya adalah ;
5.1Perubahan fisiologik : Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon tinggi.
5.2Perubahan emosional : Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.
5.3Perubahan perilaku : Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.
6.Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
6.1Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
6.2Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien.
6.3Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain.
6.4Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
7.Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998, hal 83)
7.1.Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
7.2.Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
7.3.Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
7.4.Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
7.5.Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
Konsep dasar asuhan keperawatan
Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi 4 tahapan yaitu : Pengkajian, perencanaan/intervensi, pelaksanaan/implementasi dan evaluasi, yang masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan keterampilan professional tenaga keperawatan.
Proses keperawatan adalah cara pendekatan sistimatis yang diterapkan dalam pelaksanaan fungsi keperawatan, ide pendekatan yang dimiliki, karakteristik sistimatis, bertujuan, interaksi, dinamis dan ilmiah.
Proses keperawatan klien marah adalah sebagai berikut : (Keliat, dkk, 1996)
1.Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan.
1.1.Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
1.1.1.Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
1.1.2.Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
1.1.3.Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
1.1.4.Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
1.1.5.Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut :
Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
1.2.Klasifiaksi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.
1.3.Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi klien dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
Pohon masalah
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Perilaku kekerasan
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
2.Diagnosa keperawatan
“Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai proses kehidupan”. (Carpenito, 1995).
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
2.1Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.
2.2Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
3.Rencana tindakan keperawatan/intervensi
Perencanaan tindakan keperawatan adalah merupakan suatu pedoman bagi perawat dalam melakukan intervensi yang tepat.
Pada karya tulis ini akan diuraikan rencana tindakan keperawatan pada diagnosa :
3.1Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan
Tujuan umum : klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
1.Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2.Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
3.Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
4.Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
5.Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
6.Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
7.Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
8.Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
9.Klien dapat menggunakan obat yang benar.
Tindakan keperawatan :
1.1Bina hubungan saling percaya.
Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2.1Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
2.2Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
3.1Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang konstruktif pula.
3.2Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi.
3.3Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
4.1Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
4.2Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
4.3Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
5.1Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
5.2Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
6.1Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
6.2Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
6.3Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
a.Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
b.Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
c.Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.
d.Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar diberi kesabaran.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
7.1Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
7.2Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
7.3Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
7.4Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
7.5Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
8.1Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
8.2Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku klien.
8.3Jelaskan cara-cara merawat klien.
Terkait dengan cara mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif.
Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.
Bantu keluarga mengenal penyebab marah.
Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.
8.4Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
Rasional : mengetahui sejauh mana keluarga menggunakan cara yang dianjurkan.
8.5Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.
Rasional : mengetahui respon keluarga dalam merawat klien.
9.1Jelaskan pada klien dan keluarga jenis-jenis obat yang diminum klien seperti : CPZ, haloperidol, Artame.
Rasional : menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.
9.2Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter.
Rasional : memberikan informasi pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
3.2Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain :
Tujuan khusus :
1.Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2.Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
3.Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4.Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
5.Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
6.Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Tindakan keperawatan :
1.1Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2.1Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
2.2Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
2.3Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
3.1Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
3.2Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
3.3Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
4.1Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang dimiliki.
4.2Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
4.3Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
4.4Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
5.1Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
5.2Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5.3Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
6.1Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah.
Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarg a dalam merawat klien secara bersama.
6.2Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.
Rasional : meningkatkan peran serta keluarga dalam membantu klien meningkatkan harga diri rendah.
6.3Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
Rasional : memotivasi keluarga untuk merawat klien.

A. Masalah Utama:
Perilaku kekerasan/amuk.
B. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)
C. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain.
Gejala klinis
Gejala klinis yang ditemukan pada klien dengan perilaku kekerasan didapatkan melalui pengkajian meliputi :
a. Wawancara : diarahkan penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang diserasakan oleh klien.
b. Observasi : muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak senang.
Faktor predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang mungkin menjadi faktor predisposisi yang mungkin/ tidak mungkin terjadi jika faktor berikut dialami oleh individu :
a. Psikologis; kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk.
b. Perilaku, reinforcement yang diteima ketika melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan, merupakan aspek yang menstimuli mengadopsi perilaku kekerasan
c. Sosial budaya; budaya tertutup, control sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima
d. Bioneurologis; kerusakan sistem limbic, lobus frontal/temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiser
Faktor presipitasi
Bersumber dari klien (kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya diri kurang), lingkungan (ribut, padat, kritikan mengarah penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan) dan interaksi dengan orang lain( provokatif dan konflik).
( Budiana Keliat, 2004)
2. Penyebab
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Gejala Klinis
? Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
? Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
? Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
? Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
? Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
( Budiana Keliat, 1999)
3. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah dll.
2. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji
a. Masalah keperawatan:
1). Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2). Perilaku kekerasan / amuk
3). Gangguan harga diri : harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji:
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif :
? Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
? Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
? Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Objektif :
? Mata merah, wajah agak merah.
? Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
? Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
? Merusak dan melempar barang barang.
2. Perilaku kekerasan / amuk
1). Data Subyektif :
? Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
? Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
? Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Obyektif
? Mata merah, wajah agak merah.
? Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
? Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
? Merusak dan melempar barang barang.
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2). Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.
D. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan/amuk.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri rendah.
E. Rencana Tindakan
a. Tujuan Umum: Klien tidak mencederai dengan melakukan manajemen kekerasan
b. Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
2.1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2.2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal.
2.3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
3.1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
3.2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
3.3. Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel/kesal yang dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
4.1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.3. Tanyakan “Apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai ?”
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
5.1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
5.2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
5.3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon thd kemarahan.
Tindakan :
6.1. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
6.2. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal/kasur.
6.3. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/tersinggung.
6.4. Secara spiritual : berdo’a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
7.1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
7.2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
7.3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
7.4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
7.5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel/marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
8.1. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melaluit pertemuan keluarga.
8.2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
9.1. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping).
9.2. Bantu klien mengpnakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
9.3. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan
merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan
atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan
frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon
melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang merupakan respon
yang maladaptif yaitu agresif–kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi
akibat gagal mencapai tujuan. Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain.
Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu
tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah da n merupakan
dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Amuk
atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Stuart and Sundeen, 1997 dalam Depkes, 2001).
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku kekerasan (Keliat,
2002) adalah :
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/mu ngkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak -kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, d ihina, dianiaya atau sanksi
penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua aspek
ini mestimulasi individu mengadopsi perilaku kerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima ( permisive)
4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fi sik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
2. Tanda dan Gejala
Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai
berikut :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam), jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit fisik,
penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan humor.
Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:
a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik.
b. Ancaman verbal atau fisik.
c. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata
(misalnya : garpu, asbak).
d. Agitasi psikomator progresif.
e. Intoksikasi alkohol atau zat lain.
f. Ciri paranoid pada pasien psikotik.
g. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pas ien
berada pada resiko tinggi.
h. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada
temuan lobus temporalis (kontroversial).
i. Kegembiraan katatonik.
j. Episode manik tertentu.
k. Episode depresif teragitasi tertentu.
l. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol implus).
3. Patofisiologi Terjadinya Marah
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yan g menimbulkan perasaan
tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa
perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan
penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga
perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya
dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan
menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari
rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian
akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes,
2000)
4. Penatalaksanaan
a. Tindakan Keperawatan
Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan
keluarga dalam mengatasi marah klien yaitu :
1) Berteriak, menjerit, memukul
Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk memukul barang
yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur
2) Cari gara-gara
Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga.
Latihan pernafasan 2x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan nafas.
3) Bantu melalui humor
Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang yang
menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
b. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala -gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejalagejala
lain yang bisanya terdapat pda penderita skizofrenia, manik
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau
suntikan intramuskuler. Dosis permulaan ada lah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali
pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa
belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan-lahan sampai 600 –
900 mg perhari. Kontra indikasi sebaiknya tidak diberikan kepada klien
dengan keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan
penderita yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine. Efek samping
yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenorrhae pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan do sis yang tinggi menyebabkan
gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat,
hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan
intoksikasi.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles
de la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku yang berat pada anak -anak. Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg
sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis
parenteral untuk dewasa 2 – 5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam,
tergantung kebutuhan. Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau
keadaan koma, penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih,
gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudo parkinson. Efek samping yang
jarang adalah nausea diare, konstipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala
gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reak si
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernafasan.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya
rendah (12,5 mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap
kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg
sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan -lahan. Kontra indikasinya
pada depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif ter hadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan
suportif, atasi hipotensi dengan levarterenol hindari menggunakan
ephineprine.
Terapi Medis ( Kaplan dan Sadock, 1997 )
Rang paranoid atau dlam keadaan luapan katatonik memerlukan
trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodic berespon terhadap lithium
( Eskalith ), penghambat – beta, dan carbamazepine ( Tegretol ). Jika
riwayat penyakit mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian klinis
dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan suatu pemeriksaan dilakukan
untuk memastikan penyebabnya. Jika temuan adalah positif,
antikonvulsan adalah dimulai, atau dilakukan pembedahan yang sesuai (
sebagai contohnya, pada masa serebral ). Untuk intoksikasi akibat zat
rekreasional, tindakan konservatif mungkin adekuat. Pada beberapa
keadaan, obat-obat seperti thiothixene ( Navane ) dan haloperidol, 5
smaapi 10 mg setiap setengah jam samapai satu jam, adalah diperlukan
sampai pasien distabilkan. Benzodiazepine digunkan sebagai pengganti
atau sebgai tambahan antipsikotik. Jika obat rekresinal memiliki sifat
antikolinergik yang kuat, benzodiazepine adalah lebih tepat dibandingkan
antipsikotik.
Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif
ditenangkan dengan sedative atau antipsikotik yang sesuai. Diazepam (
valium ), 5 sampai 10 mg, atau lorazepam ( Ativan ), 2 smapai 4 mg, dpat
diberikan intravena ( IV ) perlahan -lahan selama 2 menit. Klinis harus
memberikan mediksi IV dengan sangat hati -hati, sehingga henti pernafsan
tidak terjadi. Pasien yang memerlukan medikasi IM dapat disedasi dengan
haloperidol, 5 smapi 10 mg IM, atau dengan Chlorpromazine 25 mg IM.
Jika kemarahan disebabkan oleh alcohol atau sebagi bagian dari
gangguan psikomotor pascakejang, tidur yang ditimbulkan oleh medikasi
IV dengan jumlah relative kecil dapat berlangsung selama berjam -jam.
Saat terjaga, pasien seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan
biasanya memiliki amnesia lengkap untuk episode kekerasan.
5. Penggolongan Diagnosa Pada Gangguan Jiwa
Menurut PPDGJ III diagnosa pada gangguan jiwa dapat digolongkan menjadi 5
axis, yaitu:
a. Axis I (Diagnosis Utama)
Menunjukkan gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi pusat
perhatian, contohnya : skizofrenia residual eksaserbasi akut. Skizofrenia
residual eksaserbasi akut adalah suatu keadaan residual yang menahun dari
skizofrenia dengan gejala-gejala yang tidak lengkap lagi dibidang halusinasi,
waham, proses pikir dan keadaan afekti f (Kaplan and Sadock, 1997).
b. Axis II (Tipe Kepribadian)
Menunjukan gangguan kepribadian, misalnya : cenderung paranoid.
Kepribadian paranoid ialah suatu gangguan kepribadian dengan sikap curiga
yang menonjol; orang seperti ini mungkin agresif dan setiap o rang lain yang
dilihat sebagai seorang agresor terhadapnya, ia harus mempertahankan
harga dirinya. Ia bersikap sebagai pemberontak dan angkuh untuk
mempertahankan harga dirinya, sering ia mengancam orang lain sebagai
akibat proyeksi rasa bermusuhan sendiri (Maramis, 2004).
c. Axis III (Penyakit fisik)
Kondisi medis umum yang ditemukan disamping gangguan mental,
misalnya epilepsi. Kaplan and Sadock (1997) menyatakan bahwa epilepsi
ditandai oleh kejang yang berulang yang disebabkan oleh disfungsi sistem
saraf pusat. Epilepsi juga dapat dikatakan sebagai gangguan faal listrik otak
yang paroxismal dan sejenak, timbul secara mendadak, dan berhenti secara
spontan serta cenderung untuk terulang (Brain, 1991 dalam Depkes, 1983)
d. Axis IV (Stressor psikososial dan lingkun gan)
Menunjukkan masalah psikologis dan lingkungan secara bermakna,
berperan pada perkembangan gangguan sekarang.
e. Axis V (Taraf fungsi satu tahun terakhir)
Mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional klien.
12 LANGKAH MENGATASI MARAH
Rasulullah saww berkata, ”Maukah kalian kuberitahu orang yang paling menyerupaiku (pribadinya)?” Mereka (para sahabat) berkata,”Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau mengatakan,”Yaitu orang yang paling baik akhlaknya, yang paling ‘sejuk’ naungannya, yang paling berbakti kepada kerabat-kerabatnya, yang paling besar cintanya kepada saudara-saudaranya, yang paling sabar dalam menetapi kebenaran, yang paling pemaaf, dan yang paling kuat kesadaran dirinya di saat ridha maupun di saat marah” (Bihar al-Anwar 66 : 306)

Kemarahan barangkali merupakan emosi yang paling buruk yang perlu ditangani. Dari waktu ke waktu kita semua pernah mengalami perasaan yang kuat ini. Beberapa penyebab umum kemarahan termasuk frustrasi, sakit hati, kejengkelan, kekecewaan, pelecehan, dan ancaman. Hal ini membantu kita untuk menyadari bahwa kemarahan bisa menjadi teman atau bisa menjadi musuh, bergantung pada bagaimana kita mengekspresikannya. Mengetahui bagaimana cara untuk mengenal dan mengekspresikan kemarahan dengan tepat, dapat menolong kita untuk mencapai tujuan-tujuan, dan mengatasi kemunculan-kemunculannya, memecahkan problem-problem dan bahkan melindungi kesehatan kita.

Bagaimanapun, kegagalan untuk mengenal dan memahami kemarahan kita, menggiring kita ke berbagai problem.

Beberapa ahli (psikolog) percaya bahwa kemarahan yang ditekan merupakan penyebab yang mendasari kecemasan dan depresi. Kemarahan yang tidak terekspresikan dapat mengganggu hubungan, mempengaruhi pikiran, dan pola prilaku, juga berbagai problem-problem fisik, seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung, kepala pusing, gangguan kulit dan masalah-masalah lain yang saling terkait. Apa yang bahkan lebih buruk adalah hubungan antara berbahayanya kemarahan yang tak terkontrol dengan kejahatan, emosi dan penganiayaan fisik serta prilaku-prilaku kekerasan lainnya. Redford Williams, seorang ahli penyakit dalam (internist) dan spesialis tentang prilaku (behavioral specialist) di Duke University Medical Center, Amerika Serikat telah mengembangkan sebuah program 12-langkah yang dapat menolong orang untuk belajar mengatasi emosi-emosi amarahnya.

Williams menyarankan memantau pemikiran Anda yang cenderung sinis karena mempertahankan atau memelihara “sebongkah permusuhan”. Hal ini akan mengajarkan Anda tentang keseringan dan jenis-jenis situasi yang memprovokasi Anda. Carilah dukungan dari orang-orang penting dalam hidup Anda untuk mengatasi perasaan Anda dan mengubah pola prilaku Anda.

Dengan memelihara “sebongkah rasa permusuhan” Anda, Anda dapat menyadari kapan dan di mana Anda memiliki pemikiran-pemikiran yang agresif, sehingga ketika Anda menemukan diri Anda dalam situasi seperti ini, Anda dapat menggunakan teknik-teknik seperti :

1. Mengambil napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan-lahan
2. Berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah Yang Indah
3. Menghentikan memikirkan hal yang membuat hati Anda menjadi panas. Hal ini dapat menolong Anda menghentikan siklus kemarahan Anda.
4. Letakkan diri Anda di dalam “sepatu” orang lain. Empati mungkin akan menambah perspektif yang berbeda. 5. Jagalah di dalam pikiran, bahwa kita semua adalah manusia, yang bisa melakukan kesalahan.
6. Pelajari bagaimana menertawai diri Anda sendiri dan menemukn humor dalam berbagai situasi.
7. Pelajari juga bagaimana cara menjadi relaks atau santai.
8. Walaupun mungkin Anda pernah mendengar bahwa mengekspresikan kemarahan itu lebih baik daripada memendamnya, namun ingatlah bahwa amarah yang sering dilampiaskan sering bertentangan dengan hasil yang diharapkan dan bisa membuat kita diasingkan oleh banyak orang.
9. Hal penting lainnya adalah bahwa Anda perlu mempraktikkan “percaya pada orang lain”. Adalah biasa jika kita lebih mudah marah ketimbang percaya, namun dengan mempelajari bagaimana mempercayai orang lain, Anda akan dapat mengurangi amarah Anda yang langsung kepada mereka.
10. Ketrampilan ‘mendengarkan dengan baik’ akan meningkatkan komunikasi dan dapat memfasilitasi rasa percaya di antara orang-orang. Kepercayaan ini dapat membantu Anda dalam mengatasi emosi-emosi permusuhan yang potensial; menguranginya bahkan mungkin mengenyahkannya.
11. Pelajari juga bagaimana Anda menegaskan diri Anda sendiri. Hal ini merupakan sebuah pilihan yang konstruktif. Ketika Anda menemukan diri Anda marah pada seseorang, coba jelaskan kepada mereka apa yang mengganggu Anda tentang prilaku mereka dan mengapa Anda mesti marah kepada mereka.
Anda membutuhkan kata-kata dan kerja yang lebih untuk menjadi tegas ketimbang harus memperlihatkan kemarahan Anda, namun ganjaran yang akan Anda peroleh menjadi seimbang. Andai kita menyadari semua ini, maka kita akan merasakan bahwa hidup ini terlalu singkat, jika kita hanya selalu marah pada segala hal.
12. Langkah terakhir memerlukan permintaan maaf kepada orang yang Anda telah marah kepadanya. Dengan membiarkan pergi kebencian dan melepaskan tujuan balas jasa atau ganti rugi, Anda akan merasakan bahwa beban berat berupa kemarahan telah terangkat dari pundak Anda.

Joan Lunden, pengasuh rubrik kesehatan majalah Healthy Living Magazine mengatakan “Holding on to anger, resentment and hurt only gives you tense muscles, a headache and a sore jaw from clenching your teeth. Forgiveness gives you back the laughter and the lightness in your life.” -

Tahanlah kemarahan (Anda), kekesalan dan rasa sakit hati Anda, yang membuat otot Anda tegang, sakit kepala dan rahang yang tegang karena gemeretak gigi Anda. Pemberian maaf mendatangkan kembali tawa dan pencerahan dalam hidup Anda.
http://kuwhety.blogspot.com/2009/05/12-langkah-mengatasi-kemarahan.html










MARAH DAN PENANGANANYA

Marah adalah perasaan jengkel sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman. Perasaan marah merupakan hal yang normal bagi tiap individu.
Faktor Penyebab :
1. Psikologis
• Kegagalan yang dialami
• Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu : perasaan dihina, ditolak, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
1. Sering melihat perilaku kekerasan di rumah atau di luar rumah
2. Budaya tertutup dan membalas
3. Kontrol social yang tidak pasti terhadap oerilaku kekerasan
4. Bioneurologis atau kerusakan system limbik otak

Faktor Pendukung :
• Kelemahan fisik, Keputusasaan, Ketidakberdayaan, Percaya diri yang kurang
• Lingkungan ribut
• Kritikan yang mengarah pada penghinaan
• Kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan
• Interaksi social yang provokatif
• Konflik

Tanda dan Gejala :
• Muka merah
• Pandangan tajam
• Otot tegang
• Nada suara tinggi
• Berdebat
• Tampak memaksakan kehendak
• Merampas makanan
• Memukul jika tidak senang

Cara Mengatasi :
1. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perasaaannya saat jengkel atau marah
2. Bantu klien mengidentifikasi penyebab marah atau jengkel
3. Bicarakan dengan klien akibat / kerugian dari cara yang dilakukan
4. Bantu klien untuk memilih cara yang paling tepat dan mengidentifikasi manfaat dari cara yang dipilih
5. Jika sedang kesal anjurkan klien untuk menarik nafas dalam atau memukul bantal/kasur atau melakukan olah raga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga
6. Anjurkan klien untuk mengatakan bahwa dirinya sedang kesal / tersinggung / jengkel
7. Bantu klien melakukan cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, dan latihan manajemen perilaku kekerasan dalam kelompok
8. Bantu klien untuk minum obat sesuai dengan yang diprogramkan oleh dokter
9. Anjurkan klien untuk beribadah / berdoa meminta diberi kesabaran oleh Tuhan tentang kejengkelan yang dialami
10. Segera ke RSJ apabila tanda dan gejala semakin memburuk

0 komentar: